Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah

8
1033


Nama Asli : Sayyid Maulana Muhammad Hidayatullah
Nama Lain :
1. Prabu Brawijaya V
2. Pangeran Mangkubumi
3. Susuhunan Tembayat
4. Ki Ageng Pandanaran
5. Sunan Pandanaran (II)
6. Wahyu Widayat

     Sunan Bayat merupakan tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa, terutama di kawasan Jawa Tengah. Sebelumnya beliau merupakan Prabu Brawijaya V yang hidup pada masa Kesultanan Demak dan Giri Kedathon (pada abad ke-16). Sosok yang hidup di masa yang sama dengan Wali 9 ini, berjuang selama 25 tahun untuk menyebarkan agama bersama sahabat dan pengikutnya di kawasan Bayat, Klaten.

     Sunan Bayat wafat pada hari Jum’at Kliwon, 27 ruwah tahun Saka Jawa 1469 H / tahun 1547 M. Makam beliau terletak di Desa Paseban Kecamatan Bayat Kabupaten Klaten. Makam itu bernama Hastana Cakra Kembang. Makam tersebut berada di sebuah bukit kecil (anakan) di lereng Gunung Jabalakat sebelah timur. Bukit tersebut di namakan Bukit Cakra Kembang.

     Dalam penyebaran agama islam ditanah jawa bermula ketika Sunan Bayat berhasil memenangkan sayembara lalu diangkat menjadi Adipati Pandanaran II menggantikan bupati pertama Semarang (Ki Ageng Pandan Arang). Setelah diangkat menjadi Adipati Pandanaran II di Semarang, beliau dikenal sebagai sosok pemimpin yang selalu mendewakan harta keduniawian. Adipati Pandanaran II menguasai berbagai ilmu antara lain sebagai berikut.

1. Ilmu duniawi, yaitu ilmu pemerintahan perdagangan, pertanian, dan tata cara kehidupan.

2. Ilmu batin, yaitu ilmu bagaimana cara untuk mendapatkan harta benda dalam kehidupan.

3. Ilmu kaja kawijayan, yaitu ilmu kesaktian diri yang tidak ada tandingannya.

4. Ilmu panglerepen, yaitu ilmu untuk menaklukkan musuh melalui kewibawaan sehingga musuh tunduk dan bisa menuruti           perintahnya.

Dalam kehidupannya sebagai Adipati dan menjalankan roda pemerintahan, sebenarnya Sunan Kalijaga telah lama mengikuti jejak Adipati Pandanaran II mulai dari Gunung Kidul sampai menjadi Adipati di Semarang. Kala itu Sunan Kalijaga dan para wali mencari pengganti Syeh Siti Jenar agar jumlah wali tetap 9 (sembilan). Menurut Sunan Kalijaga pengganti yang tepat yaitu Adipati Pandanaran II. Untuk menggantikan seorang wali perlu diadakan pengujian diri sebagai bekal menjadi wali. Hal ini dilakukan agar beliau terketuk hatinya untuk masuk agama Islam, meninggalkan hal-hal duniawi, dan menjadi seorang petapa.

Sunan Kalijaga datang ke Semarang dengan menyamar sebagai penjual rumput alang-alang. Beliau menawarkan rumput kepada Adipati Pandanaran II, kemudian Adipati menawar dengan harga murah yaitu 25 ketheng. Ketika Adipati membuka karung rumput alang-alang, beliau mendapati Kandelan (sarung tempat keris yang terbuat dari emas) di dalam ikatan rumput alang-alang tersebut. Sunan Kalijaga bukan tanpa maksud melakukan itu semua. Sebuah pesan sebenarnya telah dikirimkan melalui alang-alang dan kandelan tadi. Kata “alang” berarti “menolak” yang untuk mempertanyakan kenapa Adipati selalu menolak ajakan Sunan untuk masuk Islam. Sedangkan kata “kandelan” terkandung kata “andel” yang dapat diartikan sebagai “mempercayai” yakni percaya pada saya (Sunan Kalijaga).

Adipati tidak mengembalikan emas tadi, namun justru membangun rumah mewah yang berdekorasi emas. Kemudian Adipati Pandanaran II mengadakan pesta besar dikediaman barunya. Pada waktu itu Sunan Kalijaga tidak diundang, namun beliau menyamar sebagai orang muslim yang berpakaian sederhana. Sunan Kalijaga yang telah menyamar datang ke pesta, tidak disambut oleh Sang Adipati bahkan mengabaikannya. Dan setelah Sunan Kalijaga mengganti baju dengan pakaian mewah, barulah dia dipersilahkan duduk bersama tamu-tamu penting Adipati. Setelah berakhirnya pesta, Sunan kembali mengganti pakaian yang dikenakan dengan pakaian biasa. Tindakan itu mengandung sebuah pesan spiritual yang dalam. Namun, Adipati tidak menyadari pesan dari Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga kembali mendatangi Adipati dan kali ini menyamar sebagai seorang pengemis. Beberapa kali Adipati melemparkan uang ketheng padanya dengan berbalik arah sambil memalingkan mukanya namun pengemis itu tidak juga pergi. Melihat hal itu, Adipati pun marah dan mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan hari pengemis sambil melemparkan uang.

Di saat itu pula pengemis tadi menjelaskan niat kedatangannya ke hadapan Adipati, bahwa tidak meminta barang duniawi melainkan hanya meminta bunyi suara bedug di Kota Semarang. Bunyi suara bedug di Kota Semarang mengartikan bahwa Adipati Semarang diminta untuk memasuki Agama Islam. Setelah itu, pengemis tersebut meminta cangkul untuk memperlihatkan kepada Sang Adipati bahwasannya dengan mencangkul tanah sekali saja bisa mendapatkan emas. Setelah diberi cangkul, cangkulan tanah di halaman kadipaten berubah menjadi sebongkah emas dan dilemparkan ke pendopo tepat di depan Sang Adipati. Disaat itu pula Sang Adipati mendapatkan pencerahan tentang kehidupan duniawi yang hanya bersifat sementara.

Kemudian Adipati Pandanaran menyadari apa yang dimaksudkan pengemis tersebut, yang tidak lain adalah Sunan Kalijaga dan beliau bersedia untuk berguru. Sunan Kalijaga mengajukan empat syarat kepada Adipati Pandanaran jika ingin menjadi muridnya :
1. Beribadah mendirikan imam.
2. Mengadakan bunyi bedug.
3. Mengislamkan masyarakat di wilayah kekuasaannya (Semarang).

4. Melakukan zakat.

Sunan Kalijaga juga meminta kepada Adipati Pandanaran untuk meninggalkan kadipaten dan menyusul ke Gunung Jabalakat. Kemudian diserahkannya kekuasaan kadipaten kepada adiknya. Dengan tekat yang kuat, beliau segera menyusul ke Gunung Jabalakat, Tembayat untuk melaksanakan perintah calon gurunya dan meninggalkan semua kekayaan duniawi. Dalam perjalanan tersebut, Adipati tidak sendiri melainkan ditemani istrinya, Nyi Ageng Kaliwungu, yang sangat setia dan tidak mau meninggalkan suaminya.

Perjalanan Adipati Pandanaran menuju Gunung Jabalakat penuh dengan rintangan dan kisah kesaktiannya sehingga dikenal oleh masyarakat luas yang masih lekat dengan kepercayaan Orang Jawa waktu itu. Tidak hanya jasanya dalam menyebarkan agama Islam, hingga saat ini masyarakat luas percaya bahwa dalam perjalanan tersebut beliau merupakan sosok besar yang memberikan nama pada beberapa tempat di Jawa, seperti Salatiga, Boyolali, Wedi, dan Jiwo. Bahkan Sunan Pandanaran juga yang disebut-sebut sebagai sosok yang meninggalkan jejak kesaktian seperti Sendang Kucur dan Batu Kali Pepe.

Setelah Pandanaran menjalankan syariat Islam dan amalan-amalannya secara khusyuk dan tawakal, pada hari kamis malam jum’at legi, Sunan Pandanaran menerima Wahyu Widayat. Setelah beliau menerima wahyu, datanglah Sunan Kalijaga ke Jabalakat. Sunan Kalijaga segera mengangkat dan menetapkan beliau menjadi wali atau sunan pengganti Syekh Siti Jenar sehingga mendapat gelar Sunan Pandanaran atau Sunan Bayat atau Sunan Tembayat.

Sunan Pandanaran mendirikan sebuah masjid di atas Gunung Jabalakat yang sekaligus difungsikan sebagai tempat pendidikan agama (pesantren) yang merupakan pesantren pertama di Jawa Tengah. Namun, usaha yang dilakukan Sunan Pandanaran untuk menyebarkan agama islam mendapatkan perlawanan dari para pemimpin mistis Jawa, salah satunya yaitu Prawira Sakti yang menantangnya dengan uji kewibawaan. Beberapa tantangan dilakukan oleh Sunan Pandanaran, yang pertama yaitu tantangan untuk menangkap merpati yang dilepas ke udara oleh Prawira. Sunan Pandanaran menerima tantangan tersebut, dan hanya dengan melempar sandal kayunya burung itu berhasil dijatuhkan.

Tantangan kedua adalah menangkap topi yang oleh Prawira dilempar ke langit jauh hingga tak terlihat oleh mata. Dengan sebelah sandal kayu yang masih ada Sunan berhasil dengan sangat mudah mengenai topi itu.

Pada tantangan ketiga Sunan ditantang untuk mencari keberadaan Prawira yang bersembunyi dengan cara tidak biasa. Dengan mudah Sunan berhasil menemukan keberadaan Prawira yang bersembunyi di bawah sebongkah batu besar.

Setelah tiga tantangan berhasil dilalui dengan mudah, Sunan memberikan satu tantangan pada Prawira untuk mencari keberadaan Sunan yang bersembunyi. Namun dalam tantangan ini Prawira gagal menemukan Sunan yang bersembunyi di antara kedua alisnya.

Selain kisah mengenai kesaktian yang dimiliki Sunan Pandanaran untuk menghadapi perlawanan para pemimpin mistis Jawa, beredar juga kisah aneh lainnya. Konon, pada waktu suara Adzan Maghrib dikumandangkan oleh Sunan Pandanaran, terdengar sangat jelas dan keras hingga ke daerah Demak. Tentu saja suara tersebut didengar oleh Raja Demak yang tidak lain adalah salah satu Wali, kemudian beliau segera menegur Sunan Pandanaran dan meminta untuk memindahkan masjid yang berada di Jabalakat tersebut. Sunan memerintahkan keempat sahabatnya (Syekh Domba, Syekh Kewel, Gagak Daha, dan Daka Wana) untuk memindahkan langgar ke arah tenggara Gunung Jabalakat. Langgar tersebut di angkat dan dipindahkan ke tempat yang lebih rendah yaitu desa Golo. Karena itu, sekarang dinamakan Masjid Golo. Setelah sampai di bawah dan seiring perkembangan waktu, semakin banyak jama’ah yang datang. Masjid tersebut pun diperluas dan kini tidak hanya mampu menampung empat orang lagi, melainkan dapat menampung lebih dari empat puluh orang.

Sumber Referensi :
Juru Kunci Makam Sunan Bayat, Bapak Saryono (61 tahun).
Raharjo, Eko Tri, dkk. Babad Sunan Pandanaran (Susuhunan Ing Tembayat). 2016. Klaten: Cempaka Mandiri Offset

Penulis : Dewi Khajar