Mengenang KH. Achmad Muchdlor

0
39
Oleh: Prof. Dr. H. Imam Suprayogo

Berikut merupakan kisah yang dibagikan oleh salah satu murid Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudhor.  Beliau adalah Prof. Dr. H. Imam Suprayogo yang dirilis pada salah satu laman milik UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kisah ini dibagikan untuk mengenang sosok abah yang begitu hebat dalam mendidik santri dan mahasiswanya.

“Ketika masih sedang berada di Medan, saya mendapatkan sms dari Dr. H. Imam Muslimin, Ketua Hai’ah Tahfidzil Qur’an UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, bahwa KH Achmad Muchdlor wafat. Dalam sms itu disebutkan bahwa jenazah Pengasuh Pesantren Luhur Malang dimaksud sedang dimandikan. Saya membayangkan, Pak Imam Muslimin ikut serta pada acara pemandian janazah itu. Selama ini, saya ketahui Dr. H. Imam Muslimin sangat dekat dengan kyai, hormat, dan mencintai para guru-gurunya. KH Achmad Muchdlor adalah salah satu guru Pak Imam Muslimin.

Oleh karena sedang bepergian itu, saya tidak bisa ikut acara pemakaman. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa, semoga guru saya ini memperoleh khusnul khotimah, ditempatkan oleh Allah pada tempat terbaik, bersama orang-orang yang dicitai di surga-Nya. Semoga semua kesalahannya diampuni, amal baiknya dilipatgandakan pahalanya, keluarganya dikaruniai ketabahan dan keikhlasan. Selain itu, semoga putra putrinya selalu diberikan kekuatan untuk mendoakan dan meneruskan perjuangannya.

Pada tahun 1971, setelah lulus SMA Negeri Trenggalek, saya meneruskan kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang. Sebagai lulusan sekolah umum dan apalagi tidak pernah nyantri di pesantren, belajar di perguruan tinggi Islam, saya sangat tepat disebut sebagai orang yang kekurangan bekal. Bekal yang dimaksudkan itu ialah kemampuan Bahasa Arab dan pengetahuan ilmu agama. Oleh karena jumlah mahasiswa yang berasal dari sekolah umum pada waktu itu tidak banyak, maka menjadikan cepat sekali diketahui oleh para dosen. Kekurangan bekal itu, saya rasakan justru menguntungkan. Saya menjadi segera di kenal, karena kekurangannya itu, oleh para dosen yang mengajar Bahasa Arab, di antaranya adalah Pak Haji Achmad Muchdlor.

Menyadari kekurangan yang mendasar itu, saya segera berusaha menambal. Waktu itu saya merasa beruntung, mendengar bahwa Pak Haji Muchdlor bersama dosen lain, di antaranya Pak Buchori Saleh, LAS, Pak Wiyono, KH Masduqi Mahchfudz, KH Oesman Mansyur, berencana mendirikan pesantren luhur dengan mengambil tempat di Gedung Unsuri (sekarang dikenal menjadi UNISMA). Pada waktu itu, saya segera ikut bergabung menjadi santri. Pada awalnya, santrinya tidak banyak, hanya beberapa, di antaranya Pak Muchtar Bisri, Pak Achmad Syafi’i, Pak Jihaduddin, Machrus, saya sendiri, dan beberapa orang lagi lainnya.

Tidak lama kemudian, kegiatan belajar di pesantren dimaksud dimulai, dan sejak awal itu sudah dinamai pesantren luhur. Pak Haji Achmad Muchlor berperan, semacam menjadi pelopornya. Setiap malam, kegiatan pesantren hanya malam hari dan hanya beberapa kali dalam setiap minggu, Pak Haji Achmad Muchdlor selalu hadir. Itulah sebabnya, beliau dikenal sebagai perintis dan sekaligus tokoh sentral pesantren luhur ini. Semangat beliau membangun lembaga pesantren ini, saya rasakan, luar biasa besarnya. Pesantren yang dirintis oleh beberapa kyai yang juga mengajar di IAIN Malang ini sama sekali tidak memungut biaya dari para santri. Semua adalah gratis, termasuk para kyai yang mengajar tidak diberi apa-apa.

Pak Haji Achmad Muchdlor, ketika itu, lebih sering dipanggil dengan sebutan Pak Haji. Pada waktu itu memang belum banyak orang naik haji. Oleh karena itu, sebutan haji hanya untuk Pak Haji Achmad Muchdlor sendiri saja. Saya rasakan, beliau sangat gigih dalam berjuang, terutama memperjuangkan pendidikan Islam. Kata berjuang, sehari-hari ditanamkan oleh Pak Haji Achmad Muchdlor kepada para santrinya. Terkesan sekali, beliau akan memformat para santrinya untuk menjadi pejuang. Selama menjadi santri, saya tidak pernah mendengar, beliau memberi petunjuk agar kelak menjadi pegawai yang baik, melainkan agar menjadi pejuang sungguhan. Tentu antara pegawai dan pejuang, menurut pandangan beliau, adalah sangat berbeda.

Oleh karena berstatus sebagai santri pesantren luhur dan sekaligus mahasiswa itulah, saya menjadi sangat dekat dengan para kyai yang juga sekaligus sebagai dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang ini. Setiap menemui persoalan terkait dengan ilmu agama, saya biasanya datang ke rumah Pak Haji Achmad Muchdlor, ketika itu masih bertempat tinggal di Oro-Oro Dowo, untuk mendapatkan jawabannya. Pertanyaan apa saja biasanya dijawab oleh beliau secara jelas. Atas kedekatan itu, sewaktu saya masih menjadi mahasiswa, ketika itu masih pada tahun pertama, beliau saya ajak ke kampung saya di Trenggalek untuk memberi pengajian umum. Beliau datang berrsama isterinya. Padahal, perjalanan ke kampung, pada waktu itu tidak mudah, yaitu dengan kendaraan umum dan harus berganti-ganti. Di sepanjang perjalanan yang jauh dan cukup berat, beliau tidak mengeluh, malah memberikan semangat, bahwa berjuang untuk Islam harus merasakan keadaan seperti itu.

Di awal saya memimpin kampus, beliau banyak memberikan nasehat, agar perguruan tinggi Islam diperkuat ilmu agamanya. Selain itu, juga agar dibangun kembali komunikasi antara kampus dengan para ulama, tokoh agama, dan lembaga pendidikan pesantren. Beliau juga mengingatkan bahwa, sebenarnya para pendiri perguruan tinggi Islam, termasuk IAIN Malang, adalah para ulama, sehingga tepat sekali manakala hubungan antara kampus dan pesantren yang semakin menjauh itu didekatkan kembali. Atas dasar berbagai nasehat, di antaranya dari Pak KH. Achmad Muchdlor itu, selanjutnya saya kembangkan pembelajaran Bahasa Arab intensif, pembangunan ma’had, mendekatkan para kyai atau ulama dengan warga kampus, dan mengembangkan berbagai tradisi pesantren, dan lain-lain.

Menurut kesan saya, di sepanjang hidupnya, KH Achmad Muchdlor tidak pernah berhenti berjuang di dalam mengembangkan umat Islam. Setiap bertemu, siapa saja diajak berbicara tentang perjuangan. Beliau membangun rumah sakit, pesantren, dan juga perguruan tinggi Islam. Selain itu, beliau seringkali juga diundang ke mana-mana untuk memberi ceramah atau pengajian di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Saya terakhir bertemu beliau, tatkala sama-sama diundang oleh Kyai Ibnu di pesantrennya yang berada di sebelah barat Singosari. Tanpa saya duga sebelumnya, ketika saya datang di tempat pengajian itu, ternyata guru saya, Kyai Haji Achmad Muchdlor sudah berada di tempat itu.

Oleh Kyai Ibnu, pengasuh pesantren itu, saya dan KH Achmad Muhdlor, diminta agar memberi pengajian secara bergantian. Ketika itu, di hadapan guru yang sangat saya hormati, saya lebih memilih menjadi pendengar saja. Saya meminta kepada Kyai Ibnu, agar KH Achmad Muchdlor saja yang berceramah. Akan tetapi, Kyai Achmad Muhdlor justru memerintahkan saya untuk berpidato dan sebaliknya beliau akan mendengarkannya. Belum terlalu lama saya ketemu, ternyata beliau dipanggil oleh Allah swt., terlebih dahulu. Kesan saya yang amat mendalam, bahwa di antara sekian banyak guru saya, beliau sangat tepat untuk dibanggakan, oleh karena keikhlasannya, kedalaman ilmunya, semangat juangnya, dan ketauladannya. Semoga beliau khusnul khotimah, diangkat derajadnya, dan dimasukkan oleh Allah swt., ke surga-Nya. Amien.”

Sumber: https://uin-malang.ac.id/r/131201/mengenang-kh-achmad-muchdlor.html