Shalat Jum’at Tanpa Syarat Muqim atau Mustauthin ? : Kajian Fiqih Ibadah Madzhab Syafi’iyah

2
227

Pentashih : Ust. Moh. Irfan Ubaidillah, S.Pd.I., M.Pd.

Sumber : Bahtsul Masail Forum Kajian Fiqih  Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang.

Sebagai seorang muslim, tentu kita familiar dengan Shalat Jum’at. Dalam kitab Fathul Qarib Mujib dijelaskan bahwa Shalat Jum’at merupakan Shalat yang dilaksanakan pada waktu dzuhur di hari Jum’at yang mana diwajibkan bagi muslim yang baligh, berakal, merdeka,  dan mustauthin. Yang mana dalam redaksinya disebutkan  وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء الإسلام و البلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة و الاسطيطان .Maka kemudian  dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu ditelaah terkait  musafir, muqim, dan mustauthin.

Dalam berkeyakinan bahwa Shalat Jum’at tidak sah tanpa adanya Mustauthin. Menurut Imam Syafi’i, dalam kitab ‘Ianah disebutkan bahwa berdasarkan qoul qodim, Imam Syafi’i memperbolehkan jumlah jama’ah Shalat Jum’at dengan 3, 4, atau 12 orang, karena jumlah tersebut merupakan jumlah minimal Shalat jamaah. Jika hanya 12 orang, maka Shalat Jum’at disempurnakan dengan Shalat Dzuhur. Sedangkan apabila didasarkan pada qoul jadid, Shalat Jum’at disyaratkan 40 muqim. Adapun menurut Abu Ali bin Hurairah, muqim dihitung sebagai mustauthin.

Terkait dengan boleh tidaknya menggunakan qoul qodim dan qoul jadid, ada sebuah qoidah yang mengungkapkan bahwa suatu ijtihad tidak bisa menghapus ijtihad-ijtihad lain yang sudah ada. Sehingga ada kewenangan bagi seseorang untuk mengikuti qoul jadid atau  qoul qodim.

Berbeda dengan Kitab At-Tahdzib, disana disebutkan bahwa muqim tidak wajib untuk Shalat Jum’at. Hal ini didasarkan atas sikap beliau yang tidak memerintahkan Shalat Jum’at kepada orang yang bermukim di Madinah. Sikap ini, dalam ilmu hadits disebut dengan taqririyah yang mana sikap ini dapat menjadi landasan hukum. Sebagaimana contoh hadits populer kehalalan biawak padang pasir yang didasarkan atas sikap nabi yang membiarkan seseorang makan daging biawak dihadapan beliau, sementara beliau tidak memakannya.

Berbeda halnya dengan Imam Hanafi yang mana beliau berkeyakinan bahwa Shalat Jum’at sah secara mutlaq tanpa memandang muqim dan mustauthin. Sebagai masyarakat yang bermadzhab Imam Syafi’i, seseorang boleh melaksanakan Shalat Jum’at atas hukum madzhab Imam Hanafi dengan syarat segala rukun dan hal ihwal lainnya juga harus mengikuti Imam Hanafi. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat pelarangan talfiq dalam hal pelaksanaan ibadah. Adapun wanita yang melaksanakan Shalat Jum’at, menurut Imam Syafi’i seyogyanya disempurnakan dengan Shalat Dzuhur. Sementara menurut imam hanafi, wanita yang sudah melaksanakan Shalat Jum’at tidak berkewajiban untuk Shalat Dzuhur. 

Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa shalat Jum’at tanpa adanya mustauthin adalah tidak sah menurut Imam Syafi’i. Jadi apabila seseorang mengikuti madzhab Syafi’i dalam hal melaksanakan Shalat Jum’at, maka ia wajib bersama dengan muqim dan mustauthin sebagai bagian dari syarat yang menentukan keabsahan Shalat Jum’at yang dilakukan. Sedangkan menurut Imam Hanafi, sholat jum’at mutlak sah diikuti baik muqim, mustauthin, musafir, budak maupun orang sakit.