Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimakumullah seorang cendikiawan muslim terkenal abad ke-15 dalam karyanya kitab Al-Asybah Wa An-Nadzoir Fil Qowaidl Fiqhiyyah, terdapat kaidah Fiqih ketiga puluh lima yang berbunyi:
المتعدي افضل من القاصر
(Amalan yang manfaatnya menjangkau banyak orang lebih utama dari amalan yang manfaatnya tidak menjangkau banyak orang)
Kita sebagai santri sudah seharusnya untuk berlomba-lomba memperbanyak amal kebajikan. Kaidah di atas bisa dikatakan sebagai timbangan atau tolak ukur dalam memprioritaskan mana yang harus diprioritaskan bila menemui 2 amalan; amalan yang satu lebih utama dari amalan yang satunya maka kita harus mengedepankan amalan yang lebih utama.
Setiap amal kebaikan sendiri memiliki keutamaan dan bernilai pahala seperti sholat sunnah,sholat wajib, membaca Al-Qur’an, berbakti kepada orang tua, zakat dan bersedekah, puasa wajib, puasa Sunah, mencari ilmu, membantu baik secara tenaga maupun materi untuk kemaslahatan umat, bersilaturahmi dan lain sebagainya.
Untuk itu kaidah di atas dimunculkan agar kita bisa mempertimbangkan dan bisa mendudukkan amalan mana saja yang harus diprioritaskan terlebih dahulu daripada amalan lainnya. Kaidah tersebut pula yang menjadi tolak ukur bobot sebuah amalan seorang hamba kepada Tuhannya. Amalan yang dimaksud disini adalah suatu amal kebajikan yang tidak bertentangan dengan syariat agama islam.
Mengutip dari filsuf sekaligus ulama terkenal yakni Imam Al-Ghazali terkaidah kaidah tersebut: “Sesungguhnya keutamaan sebuah amalan tergantung kadar maslahat atau manfat yang muncul didalamnya”
Imam As-Suyuti juga mengutip perkataan Imam Asy-Syafi’I yang menyebutkan bahwa “Mencari ilmu lebih utama daripada sholat Sunnah”.
Perkataan Imam Abu Ishaq dan Imamul Haramian Al-Juwaini senada dengan perkataan beberapa ulama di atas terkait kaidah tersebut yakni : “Orang yang melakukan amalan yang hukumnya fardlu kifayah memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan orang yang mengamalkan amalan yang hukumnya fardlu ‘ain, sebab amalannya bisa mewakili dan menggugurkan beban orang banyak.”
Dapat disimpulkan pula, kualitas bobot sebuah amalan itu bisa dilihat dari sejauh mana kadar maslahat dan manfaatnya untuk umat.
Lalu bagaimana penghayatan terhadap kaidah tersebut dalam ruang lingkup santri Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang?
Dari keterangan yang dijelaskan terkait kaidah المتعدي افضل من القاصر dapat kita terapkan dalam beberapa kasus yang sering kita temui dalam kesaharian kita sebagai seorang santri:
- Menuntut ilmu lebih utama dari sholat Sunah. Karena ilmu masih lebih utama daripada ibadah Sunah. Ilmu ibaratkan pohon sedangkan ibadah adalah buahnya. Logikanya pohon lebih utama daripada buahnya, tanpa pohon buah takkan pernah ada. Oleh karenanya, ilmu lebih utama karena manfaatnya tidak terbatas, sedangkan manfaat ibadah terbatas. Dikuatkan pula oleh Imam Malik yang lebih memilih tetap mengajarkan ilmu daripada beribadah sunah. Menurut beliau, belajar jauh lebih baik daripada ibadah asalkan disertai niat yang benar. Poin ini sudah menjadi consensus.
- Ikut roan membangun pesantren lebih utama daripada dzikir dan membaca Al-Qur’an. Karena membangun pesantren yang akan dibuat untuk menuntut ilmu dan beribadah manfaatnya lebih banyak. Meskipun demikian tidak dapat diartikan hanya menyibukkan dengan roan membangun pesantren dan malah enggan beribadah sunah yang lainnya, akan tetapi bisa diamalkan dua-duanya. Tidak boleh juga giatnya dalam membangun pesantren, malah menjadikan tidak aktif di pesantren.
- Zikir bersuara lebih utama daripada berzikir dengan suara lirih. Karena dengan berzikir dengan suara lantang dapat menambah kekhusyu’an dalam mengingat Sang Pencipta.
- Makan hobi lebih afdal daripada makan sendiri. Hobi sendiri merupakan istilah yang dipakai santri Luhur untuk makanan yang dibawa santri setelah kembali dari rumah. Oleh karenanya memakan hobi bersama-sama jauh lebih afdal daripada makan sendiri, karena dapat membangun hubungan sesama makhluk dan mempererat silaturahmi.
Perlu digaris bawahi kembali, bahwa jika ada dua amalan yang memiliki keutamaan yang berbeda bukan berarti cukup mengamalkan satu amalan saja. Sungguhpun demikian, alangkah baiknya jika kita bisa mengamalkan keduanya dengan seimbang.
Sumber :
Sukanan, Khairudin. 2010. Terjemah Kitab Kaidah Fiqh dan Ushul Fikih Mabadi Awaliyah. Jakarta: Saadiyah Putra.
Penulis: Departemen Penelitian dan Pengembangan Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang
Editor: Nly
Kalo ada hobi kaidah tersebut langsung saya terapkan 🙂
Min saran.. kalau ada judul yang berbahasa arab. Tolong di tulis latinnya dong.. sebab saya ngga bisa mbaca nya,🙏
Barokallah