Dalam rangka memperingati HARLAH NU yang ke-102. Halaqah Kebudayaan menjadi ruang untuk berbagi ilmu mengenai sejarah dan perkembangan pesantren dan perkembangannya. Acara ini berlangsung dari pukul 08.30 hingga 10.40 WIB dan dihadiri oleh narasumber yang berkompeten serta santriwan-santriwati Lembaga Tinggi Pesantren luhur malang.
Acara ini dimulai dengan pembukaan oleh Master of ceremony (MC) yang memandu kegiatan berlangsung dari awal hingga akhir. Selanjutnya, pembacaan tahlil kepada pendiri Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh Gus Danial Farafis. Beranjak pada esi inti dari Halaqah kebudayaan oleh narasumber: Riadi Ngasiran yang merupakan Ketua LESBUMI PWNU Jawa Timur. Beliau menyampaikan bahwa Pesantren adalah wadah pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia, Pesantren Tegalsari merupakan pesantren tertua yang terletak di Ponorogo Jawa Tengah. Didirikan oleh KH. Hasan Besari, melahirkan tokoh-tokoh besar Nahdlatul Ulama serta banyak kyai-kyai yang mendirikan pondok pesantren yang menimba ilmu di Pesantren Tegalsari.

Pemaparan materi oleh narasumber
Dalam sesi pemaparan materi, beliau memberikan sebuah gambaran tokoh islam yang sangat terkenal dan merupakan salah satu dari khulafaur rasyidin yaitu Sayyidina Ali dengan julukan Babul ‘Ilm (pintu ilmu pengetahuan) sebagai contoh yang sangat luar biasa karena kegemarannya dalam menuntut ilmu. Sayyidina Ali menegaskan bahwa Ilmu adalah laksana hewan liar maka cara mengendalikannya harus diikat, diikat dengan tulisan untuk menjaga keutuhan ilmunya. Oleh Karena itu, sebagai santri membiasakan diri dengan cara menulis adalah suatu bentuk untuk mengasah pola pikir dan sebagai wasilah untuk masa depan atas buktinya perjalanan ilmu pengetahuan. Beliau memberikan tips kepada santri “Memelihara hal yang lama dengan baik dan menerima hal baru dengan lebih baik” yaitu menjaga keutuhan ilmu yang sudah diajarkan oleh kyai selama di pesantren dan menerima ilmu di luar pesantren dengan baik seiring perkembangan zaman.

Pesantren merupakan wadah para penerus bangsa
Ditengah-tengah pandemi covid-19 lembaga pendidikan yang masih bertahan adalah pesantren. Akar besar dari pesantren adalah mempelajari kitab kuning dan kyai adalah figur utama dalam pesantren. Masyarakat diluar terkadang masih salah mengartikan sebuah pesantren yang hanya sekedar lembaga pendidikan islam, itu karena tidak sesuai dengan konteks pesantren pada hakikatnya dan tidak diperkuat dengan riyadhah beserta sanad keilmuan yang masih belum jelas. Olehkarena itu, pengertian dari Nahdlah bukan sekedar dari kebangkitan akan tetapi mengenai kebangkitan sebagai pencerahan yang bisa memberikan intelektualitas islam dan berbagai dari sisi keilmuan. Dikutip dalam kitab al-hikam ” janganlah kalian berdekatan dengan orang-orang yang tidak bisa membangkitkan kedekatan dengan Allah SWT” maka berdirinya Nahdlatul Ulama adalah rantai untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan pembiasaan dzikir,shalawat, tahlil dan amaliah-amaliah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT dan santri berperan sebagi individu yang terus berpikir dan belajar, dibarengi dengan amal shaleh dan dzikir.
Kemudian, beliau mendefinisikan santri adalah orang yang terus menerus ingin belajar dan batasan usia bukanlah penghalang untuk berhenti dalam belajar. Dalam proses pembelajarannya, santri tidak hanya dibekali ilmu-ilmu keislaman yang sangat mendalam, tetapi juga diharuskan untuk menaati peraturan yang ada di pesantren agar mereka dapat membentuk pribadi yang disiplin dan mematuhi norma-norma yang ada di masyarakat. Maka bisa dibilang santri adalah seorang Intelektualitas, karena dengan ke intelektualitasnya menjadikan ruang ekspresi diri yang berkualitas, beliau menyebutnya santri adalah Orang ora mandek berpikir ora mandek sinau.
Penguatan makna keberadaan santri & Sesi penutupan
Sebelum menutup sesi pemaparan materi dalam Halaqah Kebudayaan beliau memberikan sebuah closing statement kepada para santri. Seorang santri mempunyai akar kekuatan yang bersambung pada Nabi muhammad SAW dan santri merupakan bagian penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu contoh santri yang merupakan tokoh besar Nahdlatul Ulama adalah Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang melahirkan karya-karya luar biasa.

Acara ditutup pada pukul 10.30 dengan doa bersama, dilanjutkan dengan pemberian cinderamata kepada narasumber sebagai tanda penghormatan. Dengan terselenggaranya Halaqah Kebudayaan, bisa mengambil kesimpulan bahwa pesantren berperan sebagai pusat pemajuan budaya, peradaban, dan pembentuk moralitas bangsa yang telah lama mengakar di Indonesia. Santri, dengan keilmuan yang mengakar melalui tradisi sanad, memiliki kekuatan besar yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Oleh karena itu, penting bagi santri untuk mengasah budaya berpikir, membaca, menulis, serta menangkap fenomena sosial agar dapat menjadi agen pembaharu, pejuang, dan intelektual yang berkontribusi bagi masyarakat. Selain itu, santri juga perlu memiliki wawasan global, sehingga karya dan kiprah mereka tidak hanya memberi dampak bagi masyarakat lokal, tetapi juga untuk dunia. Santri harus terus berkembang, mekar, dan menyebar, menyebarkan kebaikan dan ilmu yang mereka miliki.
Penulis: El-syabani
Editor: Dept. Multimedia