Ketika jumlah pengikut Nabi Muhammad SAW di Makkah telah mencapai tujuh puluh orang, penyiksaan dan permusuhan kaum Musyrik Makkah semakin menjadi-jadi. Sehingga Rasulullah mengizinkan para sahabatnya untuk hijrah ke Madinah. Hijrah dimulai oleh para sahabat, kemudian Nabi dan sahabat Abu Bakar Ash-Shidiq ra. menyusul setelah mendapatkan restu dari Allah SWT. Dalam hijrah ini, tak seorangpun dari Sahabat Rasul yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali sahabat Umar ra.
Diriwayatkan dari Sahabat Ali krw. bahwa ketika Sahabat Umar ra. hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan tongkat di tangannya menuju Ka’bah. Sembari disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Sahabat Umar ra. melaksanakan thawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah itu, ia datang ke Maqam Ibrahim untuk mengerjakan shalat. Kemudian berdiri seraya berkata, “Semoga celakalah wajah-wajah ini! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini”. Selanjutnya Sahabat Ali krw. mengataka, “Tidak seorangpun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu oleh Umar”. Umar kemudian berjalan dengan aman.
Selanjutnya bagaimana dengan hijrahnya Rasulullah Saw? Apakah hijrah beliau terang-terangan seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar? Ternyata hijrah nabi dilakukan sebagaimana para sahabat ketika berhijrah, yakni secara sirr (sembunyi-sembunyi). Rasulullah SAW menggunakan beberapa strategi dalam hijrahnya. Diantaranya menempatkan Sayyidina Ali krw. di ranjang beliau untuk mengelabui pengepung Quraisy, dan menginap beberapa hari di Gua Tsur, untuk kemudian mengambil jalan rahasia menuju Madinah. Perjalanan tersebut semakin dipersulit dengan adanya ancaman pengejaran yang pernah dilakukan oleh Suraqah bin Ja’tsam (meskipun gagal).
Mungkin terbesit pertanyaan di pikiran kita mengapa Rasul harus susah payah ketika berhijrah, kenapa tidak seperti Sahabat Umar ra. yang gagah melenggang pergi tanpa gangguan sedikipun? Jawabannya sederhana, “Karena Sahabat Umar ra. bukanlah Nabi!”. Telah kita ketahui Nabi ialah rahmat bagi semesta Alam, yang segala tindak laku beliau adalah pembelajaran bagi semua umatnya, bukan hanya orang atau kalangan tertentu. Semua tindakan Sahabat Umar ra. dianggap sebagai tindakan pribadi, lain halnya dengan Nabi yang mana gerak-gerik beliau bisa menjadi hujjah syari’ah dalam beragama. Contoh yang sudah kita ketahui bahwa Rasul tidak meneruskan tarawihnya di masjid Nabawi ketika semakin banyak yang mengikuti, kenapa? Karena Nabi SAW khawatir jika beliau tetap terus melaksanakannya, hukum shalat tarawih akan menjadi wajib. Jika menjadi wajib, maka akan memberatkan bagi umatnya yang tidak mampu.
Seandainya Nabi melaksanakan hijrah seperti yang dilakukan Sahabat Umar ra., dikhawatirkan orang-orang akan menganggap tindakan tersebut adalah wajib. Tidak diperkenankan mengambil sikap waspada dan bersembunyi ketika dilanda bahaya yang mengancam. Dalam hal ini, Rasul merupakan cerminan umum yang bisa dilakukan oleh umatnya, baik golongan lemah, maupun golongan kuat. Nabi seolah mengajarkan dalam kehidupan ini, untuk mencapai suatu tujuan harus menjalani sebab akibat yang secara rasional akal masih bisa menerimanya.
Lalu muncul pertanyaan, apakah Nabi menjalankan hal tersebut memang karena takut dengan orang-orang Quraisy sebagaimana umumnya orang-orang takut ketika dikejar oleh musuh?. “Alaa inna auliyaa Allahi laa khoufun alaihim walaa hum yahzanun”. Rasul adalah kekasih Allah yang tidak mungkin sedikitpun hati beliau gentar, ketika berhadapan dengan musuh-musuh Allah. Nabi hanya sekedar mengambil sebuah sebab yang telah Allah SWT tetapkan sebagai sunnatullah di muka bumi. Disisi lain, Allah SWT juga menampakkan kuasaNya dalam hijrah kekasihNya. Supaya kita tidak hanya terpaku dengan asas kausalitas, segala yang terjadi di dunia ini terjadi karena kehendakNya. Maha suci Allah yang menina bobokan para pengepung Nabi ketika beliau hendak keluar rumah. Kemudian hanya dengan burung merpati dan laba-laba, Allah mengelabui para pengejar Nabi ketika tiba di Gua Tsur. Serta bagaimana tenangnya hati Nabi meskipun sudah terang-terangan Suraqah bin Ja’tsam mengejar beliau dengan jarak dekat yang seharusnya sangat mudah membunuh beliau bukan?. Disinilah ta’dib Nabi SAW terhadap umatnya dalam menjalani kehidupan. Berusaha mengambil sebab yang mungkin, namun disertai hati yang pasrah dan yakin bahwa segala sesuatu terjadi murni kuasa Allah. Apakah sahabat Umar lebih hebat dari Nabi?
Wallahu a’lam.
Abdul Khaliq Basmallah, Pimpinan Madrasah Diniyah At-Tahdzibiyah Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang Periode 2018-2020
Sumber : Sirah Nabawiyah karya Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi.
Editor: Dee
Barokallah
Barokallahu lakum