Ada pernyataan menarik dan cukup keras, dari Prof. Dr. KH. Achmad Muhdlor, S.H. (60) tentang Pemilu di Indonesia, “Sistem pemilu Orde Lama (Orla) lebih baik dari Orde Baru (Orba),” tegasnya, pada Dialog Regional Format Politik Pasca SU MPR 1998, Sabtu (2/5), di aula Ponpes Mambaul ‘Ulum’ Tambak Beras, Jombang. Sistem Orla dinilai lebih bisa menampung aspirasi rakyat. Sementara sistem pada Orba lebih banyak “mengkebiri” hak-hak rakyat. Penghapusan 5 proker undang-undang, khususnya yang menyangkut masalah pemilu, baginya, merupakan keniscayaan yang tak bisa ditunda.
Melihat esensi yang tak lagi bisa dikatakan “baru”, guru besar yang juga pendiri IAIN Malang (kini STAIN) itu mengusulkan, agar nama-nama orde yang pernah ada, diubah menjadi Orde Pancasila, sebagai upaya melebur antara Orla dan Orba.
Menurutnya, tak semua yang ada di masa Orla itu buruk. Sebaliknya, Tak semua yang ada di Orba itu baik. Masing-masing ada kelemahan dan kelebihan. Di sisi lain, saat ini, masih banyak orang Orla. Untuk menjembatani berbagai silang pendapat itu, sekaligus untuk Melahirkan “orde” yang lebih baik, pengasuh Ponpes Luhur, Sumbersari, Malang, itu mengusulkan lahirnya Orde Pancasila.
Kiai yang dikenal ahli Ilmu Balaghah itu juga membenarkan adanya unjuk rasa jika diketahui benar-benar membawa manfaat. Meskipun, harus ada korban, asal tidak besar dan tidak membahayakan. Ia mengambil tamsil (dasar hukum) kapal.
Misalnya dalam sebuah kapal ada 30 penumpang. Kemudian ada badai. Jika penumpang tak dikurangi, pasti kapal tenggelam Dalam kondisi demikian, boleh mengurangi (baca: melempar/membunuh) 3 penumpang(misalnya), demi menyelamatkan kapal dan penumpang mayoritas.
Dalam mengupayakan reformasi, ada kekuatan terpendam yang sebenarnya belum tergarap. Yakni, santri. Abah Muhdlor mengusulkan, agar dalam setiap unjuk rasa, mahasiswa bergabung dengan santri. Jika santri turun, akan mendapatkan kekuatan lebih. “Kalau santri turun, berarti mendapat restu, kiai-nya. Ini akan menambah kekuatan,” tegasnya kepada SEMESTA, seusai dialog.
Abah Muhdlor yang kini memangku Ponpes Luhur, Sumbersari, Malang, ingin melihat permasalahan negeri ini dari kacamata agama. Banyak kritiknya yang cukup pedas. Kepada Semesta, beliau berkenan memaparkan. Petikannya:
Dalam agama, istilah reformasi Itu disebut apa?
Hijrah. Yang disebut hijrah adalah perpindahan dari kejelekan menuju kebaikan. Dari dhalim menuju hudan (petunjuk). Dari tertindas menuju merdeka.
Dari kacamata agama, kondisi Indonesia saat ini, apakah sudah waktunya hijrah?
Kalau kita bertahun-tahun dalam keadaan menderita, Pancasila tidak berjalan dengan semestinya, peraturan yang ada juga tidak berjalan semestinya, jika tidak segera dimulai (reformasi), tambah tahun tambah bercokol. Bercokolnya kedhaliman bertambah kuat. Reformasi boleh saja, asal tidak menimbulkan kerusakan. Para Ulama mulai tanggap. Malah mereka menyayangkan, kenapa santri kok diam? Oleh karma itu saya usulkan, gerakan ini jangan hanya gerakan mahasiswa, tapi mahasiswa plus santri.
Reformasi itu kan berubah dari satu tingkat menuju tingkat lebih tinggi. Sama dengan pembangunan, meningkatkan derajat kehidupan bangsa menuju tingkat lebih tinggi. Sedang teori (praktik)nya nanti dengan jalan radikal atau secara evolusi, itu masalah lain.
Apakah kesadaran bereformasi tidak terlambat dan apakah pemerintah telah membuka “kran” reformasi?
Benar, pemerintah telah membawa “kran” reformasi. Tapi pada umumnya, konsep reformasi pemerintah ditolak oleh para mahasiswa. Apalagi reformasi baru akan di laksanakan tahun 2003. Ini lebih ditolak lagi oleh kiai-kiai. Kalau kita sekarang melihat kemungkaran, sekarang juga harus diubah.
Kalau benar para kiai menuntut reformasi saat ini, dengan didukung santri, reformasi yang bagaimana yang diinginkan?
Minimal, DPR/MPR memuluskan secara kongkret bagaimana ‘bentuk’ reformasi di dalam pemilihan umum (pemilu). Bagaimana pula ‘bentuk’ reformasi di bidang politik dan ekonomi. Sekarang harus ditegaskan lebih dahulu. Kalau diputuskan reformasi tahun 2003, itu hanya salah satu jalan diterimanya maksud (usulan) pemerintah. Sekarang ini, (pemerintah) menerima reformasi, dan menyuruh DPR/MPR sidang untuk membuat gagasan (melaksanakan hak inisiatif).
Kalau para kiai mulai gerak, mestinya didukung santri, Tapi, tampaknya santri masih diam, belum ada gerakan?
Sudah ada. Seperti gerakan di Unibraw, lalu. Di sana banyak santri yang ikut, misalnya dari Ponpes Miftahul Huda, Gading Pesantren, Malang. Juga dari santri Ponpes Luhur, Malang. Mereka saya tanya, katanya mau ikut unjuk rasa. Demikian pula gerakan di IAIN (STAIN) dan Unisma, yang sebagian besar dimasuki santri. Hanya saja, mereka belum berani menamakan dirinya sebagai ‘santri’.
Sebenarnya, kalau santri mau turun, akan lebih berwibawa, asal bergabung dengan mahasiswa. Alasannya, para santri itu dijiwai oleh amanat-amanat kiai. Kalau santri gerak, dianggap mendapat restu kiai. Kiai khususnya yang tak mendapat fasilitas ‘bergerak’ di belakang layar.
Bagaimana konsep Islam dalam menata masyarakat agar tercapai keseimbangan?
Di dalam ajaran Islam, tegaknya masyarakat karena 4 faktor:
Pertama, ilmu ulama’. Faktor tersebut saat ini tidak berjalan. Kalau berjalan, artinya, ilmu agama digunakan untuk menasehati pemerintah. Sekarang sebaliknya, pemerintah menasehati ulama. Ini konslet. Agana tidak boleh diperalat pemerintah, tidak bisa diperalat partai untuk kepentingan mereka sendiri. Tidak juga diperalat negara untuk kepentingan negara. Agama adalah alat beribadah. Tapi agama bisa diperalat negara untuk ibadah. Bisa pula diperalat organisasi untuk kepentingan ibadah, bukan untuk kepentingan organisasi.
Kedua, tegaknya keadilan. Ketiga, luman (dermawan)-nya orang kaya. Karena Piagam Jakarta telah dicabut, bagaimana pun juga tak bisa merealisir zakat untuk kepentingan umat (bunyi Piagam Jakarta yang dihapus adalah”.. dengan wajib menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya -red). Ekonomi dalam Islam punya misi kepentingan sosial. Keempat, do’a fakir, restunya orang miskin.
Jika keempat komponen ini berjalan, kesenjangan sosial akan berubah menjadi kesetiakawanan sosial. Sekarang, realitanya tidak demikian. Ini yang menciptakan kondisi buruk seperti sekarang.
Bagaimana dengam gagasan Anda tentang Orde Pancasila?
Orba atau Orla, ini kan hanya istilah. Orba milik bangsa Indonesia. Orla juga milik bangsa Indonesia. Sekarang ini, orang yang menamakan Orba, selalu menyudutkan “person-nya yang dianggap Orla. (Orba) dibuat argumentasi, padahal orang yang disudutkan termasuk Orba. Karena itu istilah tersebut harus dihapus, diganti Orde Pancasila.
Konsepnya?
Salah satu contoh, kalau ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, ya harus ada orang-orang yang ahli dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.
Anda menginginkan gabungnya dua istilah orde itu?
Bisa saja demikian. Sebab, dalam Orla masih banyak orang baik-baik. Sebaliknya, dalam Orba banyak juga orang jelek. Jadi, sebaiknya antara Orla dan Orba diintregitegerasikan.
Apakah pemunculan nama Orde Pancasila tidak menyudutkan seseorang?
Tidak. Karena yang mencetuskan istilah Orba itu bukan Pak Harto. Tapi Golkar, kemudian diciptakan istilah ‘mayoritas tunggal’. Ini suatu proses atau siasat mereka untuk tetap bercokol dan berkuasa.
Syarwan Hamid tampaknya kurang berkenan pada ide Anda?
Pak Syarwan kan tidak menanggapi. Tadi (ketika dialog) saya tanyakan, bagaimana Pak? Jawabnya, ‘baik-baik’.
Seusai dialog, Syarwan Humid menjawab pertanyaan wartawan, sebaiknya tidak usah melahirkan istilah yang macam-macam bagaimana?
Karena mereka masih berada di pihak Orba. Sudah barang tentu tidak setuju degan (istilah) Orde (Pancasila) ini. Orde baru menganggap jasanya besar. Kalau istilah ini dihilangkan, jasanya tak tampak. Padahal yang dihilangkan bukan Orba saja, Orla juga. Istilahnya menjadi Orde Pancasila.
Presiden telah membuka ‘kran’ reformasi. Ini peluang. Apakah para kiai, santri, khususnya Pesantren Luhur, telah memiliki konsep yang akan ditawarkan?
Kalau realisasi reformasi tahun 2003, itu tuntasnya. Tak bisa spontan digarap keseluruhan. Nah sekarang, apa yang bisa digarap, ya digarap sekarang.
Konsep jangka pendek?
Misalnya, tentang pemilu. Adanya (multi) partai mulai sekarang bisa dirombak/digagas. Jangan terpancang pada undang-undang yang ada. Apalagi sekarang sudah rancu. Banyak orang Golkar yang PDI, Orang PDl dan Golkar, dan sebagainya,
Dulu, jumlah partai 18. Pernah 50. Kemudian menjadi 10. Lantas disederhanakan menjadi 3. Ini terlalu. Mestinya, paling tidak, ya 5 partai. Apalagi Pancasila itu 5. Ada 2 Lambang dalam Pancasila yang tidak masuk dalam identitas partai. Jadi saya setuju dengan pendapat Tambak Beras, harus rasional (dalam dialog, pihak Ponpes Tambak Beras yang diwakili KH Hasib Wahab mengajukan rasionalisasi. Khususnya, rasionalisasi jumlah umat Islam yang mayoritas harus terwakili di dalam setiap pengambilan kebijakan hukum-red).
Salah satu hal yang tidak rasional, adalah tugas khusus dari presiden. Mestinya diberikan kepada wakil presiden. Kok malah menunjuk menteri baru urusan khusus. Setelah berjalan 4 bulan, tak ada mentri khusus. Apakah (setelah itu) Tak ada urusan khusus? Ini tidak rasional. Saat ini, seiring dengan kemajuan pemikiran bangsa, langkah pemerintah harus rasional. Jika tidak, pasti ditolak.
Apakah akan ada, pertemuan ulama’ untuk menyongsong terbukanya reformasi?
Rupanya demikian, Para ulama’ mulai ada gagasan. Harus mengadakan pertemuan.
Saat ini, ibarat orang sakit sudah bisa dideteksi. Tahapan ‘penyembuhan’ paling awal menurut kacamata agama/ulama terhadap krisis yang kronis ini bagaimana?
Pribadi dan mental/akhlak para pejabat harus ditata. Sekalipun struktur ekonomi tinggi, jika mental dan iman para pejabat rusak, akan tetap terjadi kolusi, korupsi.
Zaman Rasulullah, soal akhlak sangat penting. “Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak” kata beliau, bukan untuk politik atau ekonomi. Sekalipun penjabarannya, soal akhlak masuk didalam bidang politik, ekonomi, dan sebagainya.
Di zaman Rasulullah, atau para sahabat, kalau ada tindakan penyelewengan seperti kolusi dan korupsi, hukuman apa yang harus dikenakan kepada yang bersangkutan?
Kalau soal hutang, harus dibayar. Kalau pembunuhan, harus di qishas. Untuk memutuskan perkara, para sahabat atau ulama dikumpulkan. Tidak diputuskan sendiri. Kecuali zaman Rasulullah. Beliau sendiri yang memutuskan.
Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, i’tibar (pelajaran) apa yang bisa diambil?
Kalau dalam filsafat hukum, filsafat hukum Indonesia itu Pancasila. Tapi sosiologi hukumnya tidak direalisir. Sosiologi hukum, artinya memandang bagaimana keadaan masyarakat tersebut. Harus dilihat, seperti apakah hukum tersebut jika diterapkan, mampu atau tidak, cocok atau tidak. Hal ini diperlukan lembaga ulama atau tokoh-tokoh lain yang selalu memantau putusan-putusan yang belum diratifikasi oleh DPR. Hukum yang diberlakukan harus dipertimbangkan, bertentangan dengan prinsip atau tidak. Jika tidak, ya tidak apa-apa.
Hukum unjuk rasa?
Unjuk rasa itu (dinisbatkan) pada amar ma’ruf nahi munkar. Kalau dikatagorikan demikian, hukumnya wajib.
Untuk bisa dikatakan amar ma’ruf?.
Jika tak mengadakan pengrusakan, dan hak-hak mereka dipenuhi oleh pejabat, ini termasuk amar ma’ruf. Tidak mengadakan pembakaran, pencurian, dll. Kalau hanya unjuk rasa dengan suara, tak menjadi masalah.
Jadi, unjuk rasa boleh asal tak merugikan orang lain?
Bukan tidak merugikan orang lain. Kalau hanya merugikan seorang (tak menjadi masalah). Contoh, rombongan 30 orang di dalam perahu, akan tenggelam. Kalau dikurangi 3 orang lantas perahu itu bisa selamat, maka 3 orang tersebut boleh dikorbankan.
Dikaitkan dengan kondisi sekarang?
Kalau pengorbanan tidak besar, tak masalah. Juga kalau rusak sedikit-sedikit. Kalau merusak toko-toko, membakar, tak boleh. Rusak sedikit untuk kebaikan semua boleh. Pemerintah akan memberi respon yang baik. **