Syawir Forum Kajian Fiqih Luhur : فصل في ذكر شيء من الاعيان المتنجسة
Bersama Ust. M. Alfin Khoirun Na’im
(Kepala Madrasah Diniyah At-tahdzibiyyah Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang)
Najis dan hadats memiliki pengertian yang berbeda. Adapun hadats adalah keadaan seseorang yang menyebabkan ketidaksahan beribadah seperti sholat. Sementara najis adalah wujudnya. Contohnya adalah segala hal yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani.
Pada dasarnya semua kotoran adalah najis. Namun beberapa ada yang dima’fu karena sulit untuk dihindari. Terutama ketika sedang melaksanakan sholat. Contohnya adalah cicak dan luka kecil yang masih memungkinkan untuk keluar darah meskipun sedikit. Kemudian darah dari hewan yang darahnya tidak mengalir seperti nyamuk, lalat, dsb.
Hadats dan najis tidak selalu berada dalam suatu koridor yang sama. Adakalanya hadats yang tidak mengeluarkan najis, contohnya adalah bersentuhannya kulit dengan lawan jenis. Begitu juga sebaliknya, najis tidak selalu menyebabkan seseorang dihukumi berhadats. Misalnya adalah ketika seseorang terkena kotoran sapi maka seseorang tersebut tidak memiliki hadats, dalam artian masih memiliki wudlu. Orang tersebut hanya perlu untuk mensucikan bagian yang terkena najis tersebut tanpa harus berwudlu kembali.
Najis sendiri dibagi menjadi 3 yaitu najis mukhoffafah ,mutawasithoh , dan najis mugholadzoh. Najis yang termasuk ke dalam kategori najis mukhoffafah adalah air kencing bayi laki laki (berusia kurang dari 2 tahun) yang belum mengkonsumsi makanan apapun kecuali ASI. Cara mensucikan najis mukhoffafah adalah dengan memercikkan air pada tempat najis tersebut. Kemudian najis mugholadzoh meliputi anjing dan babi, yang lahir dari keduanya maupun yang lahir dari salah satu dari keduanya. Cara mensucikannya adalah dengan membasuhkan air sebanyak 7 kali dan salah satunya menggunakan debu (menurut madzhab Syafi’i). Selain najis yang telah disebutkan diatas, dinamakan najis mutawasithoh. Adapun cara mensucikannya adalah dengan membersihkan ainnya (dzat) kemudian dibasuh dengan air minimal satu kali. Namun yang lebih utama dibasuh sebanyak 3 kali.
Berdasarkan pengantar diatas, terdapat 5 bahan diskusi diantaranya adalah :
1. Tanya:
Mengapa bangkai ikan tidak najis, padahal memiliki darah?
Jawab : Bangkai ikan tidak najis dan halal untuk dimakan sebagaimana telah ditetapkan dalam nash Al-Qur’an Qs. Al-Maidah ayat 96 yang berbunyi
احل لكم صيد البحر و طعامه متاعا لكم و لسيارة
Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (QS. Al-Maidah: 96).
Selain itu, Nabi SAW pernah bersabda, “Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).
Dalil naqli tersebut menjadi dasar akan kehalalan ikan meskipun ikan memiliki darah. Kehalalan ini dimaksudkan untuk memudahkan manusia karena ikan tidak memiliki urat nadi. Selain itu air laut adalah bersifat suci mensucikan sehingga binatang yang hidup didalamnya suci dan halal meskipun sudah menjadi bangkai.
2. Tanya :
Imam Madzhab mana yang mengatakan bahwa bagian tubuh anjing yang najis hanya air liurnya saja?
Jawab : Kenajisan hewan anjing juga memiliki perbedaan pada tiap madzhab. Perbedaan tersebut diantaranya adalah :
- Imam Syafi’i dan Imam Hambali beranggapan bahwa anjing najis secara mutlaq semua anggotan tubuhnya.
- Imam Hanafi berpendapat bahwa bahwa anjing dihukumi suci apabila digunakan untuk berburu.
- Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa apabila anjing tersebut dalam keadaan kering, maka tidak dihukumi najis, namun apabila dalam keadaan basah maka dihukumi najis
- Imam Maliki berpendapat bahwa daging anjing suci, namun apabila ada bejana yang dijilat oleh anjing, maka bejana tersebut menjadi najis
3. Tanya :
Apakah kulit bangkai hewan yang telah disamak halal untuk dimakan?
Jawab : Bangkai adalah hewan mati yang disembelih atas nama selain Allah SWT. Kulit bangkai hewan yang telah disamak halal dimakan dan digunakan. Jadi misalnya ada bangkai sapi yang terbengkalai, maka boleh untuk mengambil kulitnya untuk disamak (disucikan) dan halal hukumnya untuk dimakan dan digunakan sebagai beduk, dan lain sebagainya. namun daging bangkai tersebut tetap haram dan najis.
4. Tanya :
Mengapa untuk mensucikan najis mugholadzoh menggunakan pasir ?
Jawab : Hikmatus Syara’ dari digunakannya pasir atau debu dalam mensucikan najis mugholadzoh adalah terbukti dari sebuah penelitian ilmiah. Sebuah penelitian membuktikan bahwa najis dari anjing ataupun babi pada sebuah kain memiliki kuman atau bakteri yang tidak bisa dihilangkan dengan detergen terbaik di berbagai negara. Namun ketika peneliti mencoba membersihkannya dengan tanah, bakteri tersebut dapat hilang. Sungguh islam dan pengetahuan modern sangat berkaitan dan tidak berlawanan satu sama lain.
5. Tanya :
Apakah terasi itu najis?
Jawab : Pertanyaan ini memiliki acuan yang sama dengan pertanyaan pertama, yaitu Qs. Al-Maidah ayat 96 dan Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi.
Adapun terasi memiliki khilafiyah, ada yang mengatakan halal dengan dasar kedua dalil diatas dan ada yang mengharamkan karena dikhawatirkan adanya kotoran hewan yang tercampur didalamnya.
(Forkafi Luhur)
Rujukan : Kitab Fathul Qorib Al-Mujib (Syarah kitab Al-Ghayah Wa at-Taqrib karya Al-Qadli Abi Syuja’)