MELIHAT ALLAH SWT DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH (IV)
Oleh Prof. Dr. KH. Achmad Mudlor, SH.
Pengasuh Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang
Melihat Allah SWT. dalam pandangan Ahlussunnah Wal-Jama’ah merupakan salah satu judul artikel yang pernah ditulis oleh Prof. Dr. KH. Achmad Mudlor, SH. Judul ini termasuk kedalam kategori metafisika dasar karena objeknya termasuk kedalam ruang lingkup pembahasan das Sollen. Oleh karena itu metode ini menggunakan alat tahu berupa kepercayaan. Mayoritas ilmuwan dan filsuf menggunakan iman sebagai dasar untuk memahami objek dasar. Padahal, metode pemahaman dalam keimanan i ni banyak ditemukan dalam fakta empiris. Adanya keyakinan agama berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an inilah yang menjadi landasan utama yang dipercaya oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.
Berdasarkan teori pembahasan di atas maka Ahlussunnah wal Jama’ah berpendirian:
1) Keyakinan yang berdasarkan Al-Quran, bahwa Allah SWT itu ada. Tiap-tiap yang ada mungkin dapat dilihat. Dengan demikian melihat Allah itu adalah mungkin.
2)Melihat Allah itu mungkin dapat dipahami secara implisit dari firman Allah SWT yang memiliki arti “Musa berkata: “ Hai Tuhanku, perhatikanlah kepadaku niscaya aku melihat kepada mu”, Allah berfirman: “Engkau tidak akan melihat kepadaku tetapi lihatlah pada bukit itu”. Jika bukit itu tetap di tempatnya maka engkau akan melihat aku. Maka tatkala Allah menampakan zatnya pada bukit, hal mana menjadikan bukit itu goncang, sedangkan Musa tersungkul pingsan.
Ayat tersebut secara implisit mengandung dua indikasi yang menunjukan bahwa melihat Allah itu mungkin.
Indikator pertama adalah jika tidak mungkin untuk melihat Allah SWT., maka tentu saja Musa akan menjadi seorang nabi, dan nabi tidak akan meminta untuk bertemu dengan tuhannya. Ini menunjukkan bahwa melihat tuhan adalah mungkin. Jika tidak mungkin, Musa pasti akan menanyakannya karena dia tahu bahwa permintaannya sia-sia dan tidak mungkin terjadi. Mustahil bagi Musa untuk menuntut hal yang tidak mungkin
Indikator kedua adalah dimungkinkan juga untuk menggantungkan perintah Tuhan dari bukit. Pada saat yang sama, tergantung pada hal-hal yang tidak mungkin, itu menunjukkan bahwa itu mungkin. Hanya saja dalam kasus ini, Musa tidak sadarkan diri.
Kedua indikasi tersebut menunjukkan melihat Allah di dunia adalah mungkin. Nabi Muhammad SAW sendiri dalam Isra’ Mi’raj telah melihat Tuhannya. Sedangkan melihat Allah di akhirat bagi orang mukmin adalah suatu hal yang pasti terjadi berdasar firman Allah:
وجوه يومئذ ناضرة ¤ الى ربها ناظرة
Artinya : Pada waktu itu wajah –wajah mukmin terang benderang, kepada Tuhannya mereka melihat. (Qs. Al-Qiyamah: 27-28)
Ayat ini menunjukan, bahwa orang-orang mukmin di akhirat pasti melihat Tuhannya. Kata ناظره (nadhirah) diartikan melihat dengan matanya, karena ada qorinah (tanda sebagai alasan) menyebut kata ناظره (nadhirah) teriringi dengan kata وجوه (wajah). Ayat tersebut juga tidak patut apabila ناظره (nadhirah) diartikan i’tibar (berpikir) karena di akhirat bukan tempat mengambil i’tibar (berpikir). Ayat الى ربّها نا ظره diartikan الى ثواب ربّها نا ظره (kepada ganjaran tuhan mereka melihat) ganjaran di surga adalah untuk dinikmati sebagai balasan bukan untuk dilihat.
3) Untuk memperkuat pendirian bahwa orang-orang mukmin di akhirat melihat Allah dijelaskan dengan firman Allah dalam ayat yang artinya merupakan kebalikannya, yaitu orang kafir di akhirat tidak melihat Tuhan sebagai mana firman Allah:
كلا انهم عن ربهم يومئذ لمحجوبون
Artinya: Sebenarnyalah, sesungguhnya orang-orang kafir pada hari itu terhalang matanya. (Qs. Al-Muthaffifin:15)
Adapun dasar kaum mu’tazilah yang berpendirian bahwa manusia tidak dapat melihat Allah berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
لاتدركه الابصاروهويدرك الابصار
Ayat ini tidak meniadakan ru’yah (melihat Allah) tetapi yang ditiadakan adalah idrok (berpikir tentang Allah). Lafad الابصار sesudah lafad لاتدركه dalam konteks balaghah berlaku umum yang yang dikhususkan oleh firman Allah الى ربّها نا ظره. Bahkan menurut imam Al-Asyari yang merupakan tokoh akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, bahwa yang dimaksud dengan tidak dapat melihat pada ayat tersebut adalah melihat Allah di dunia. Adapun menurut firman Allah di atas bahwa orang-orang mukmin di akhirat dapat melihat Allah karena nikmat yang besar di surga adalah melihat Allah. Tentang ucapan Siti Aisyah yang berbunyi:
من زعم ان ممحد رأ ى ربه فقد اعظم على ا الله الفرية
Artinya: Barang siapa menganggap bahwa Muhammad melihat Tuhannya maka dia telah membuat dusta yang besar terhadap Allah.
Ucapan Siti Aisyah ini tidak dapat dijadikan argumentasi (hujjah) karena pada waktu Rasullulah melakukan isra’ mi’raj Siti Aisyah masih dibawah umur. Ucapan Siti Aisyah ini disamping bertentangan dengan firman Allah tersebut di atas, juga bertentangan dengan sabda Rasullulah sendiri
ترون ربّكم كما ترون القمر ليلة البدر
Artinya : “kamu semua akan melihat Allah (Tuhanmu) sebagaimana kamu semua melihat bulan di malam purnama”.
Hadis ini perawinya jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan perawi hadis tentang hukum rajam. Golongan Mu’tazilah mempercayai hukum rajam, tetapi anehnya mereka tidak menerima hadis tentang melihat Allah bagi orang mukmin di surga. Padahal perawinya lebih besar dibanding dengan perawi hadis tentang hukum rajam.
Kesimpulannya, melihat Allah di dunia adalah mungkin, sedangkan melihat Allah di akhirat bagi mukmin merupakan sesuatu yang haq (pasti terjadi), bukan dengan akal (idrok) dan juga tidak bisa ditafsirkan. Ru’yah kepada Allah bagi mukmin pada hari kiamat tidak bisa dijelaskan baik dengan lisan maupun tulisan. Akal tidak dapat mengajukkan bukti adanya ru’yah itu, tetapi itu harus dipercayai tanpa interpretasi karena ada ayat yang menjelaskan. Jadi jelaslah akal itu tidak mampu untuk membuktikan ru’yah itu. Adapun dalil :لاتدركه الابصاروهويدرك الابصار, tidaklah menafikan ru’yah, yang dinafikan adalah idrok, yaitu berpikir tentang adanya Allah.