[Malang, 12 Desember 2020] Internalisasi budaya-budaya tradisional di era modern ini merupakan hal penting dan harus mendapat perhatian yang ekstra. Bagaimana tidak, Di zaman millennial yang serba modern ini khalayak muda lebih tertarik dengan hal hal yang berbau canggih,dan Automatic, dibandingkan dengan hal hal tradisional yang banyak millennials menganggap tradisional itu kuno, ketinggalan zaman dan konservatif. Termasuk juga dalam bidang minuman ASLI Indonesia yakni kopi. Secara tradisional, kopi Indonesia merupakan kopi bubuk yang dinikmati dengan hanya sekedar “lesehan”, Warung kopi tradisional menyajikan kopi mereka yang diracik dengan sepenuh hati dengan alat alat tradisional dengan tetap menjaga kualitas bubuk kopi yang diracik, namun sekarang hal tersebut mulai ditinggalkan. Millenials lebih tertarik dengan pengolahn modern, dimana untuk membuka Coffee Shop harus memiliki mesin modern yang canggih dan automatic untuk menghidangkan kopi yang cantik. Selain itu dahulu, sembari menikmati secangkir kopi, ada kebiasaan unik yang mereka lakukan, yakni nyethe. Nyethe adalah kesenian menghias batang rokok keren dengan ampas kopi yang sekarang sudah hampir ditinggalkan. Maka dalam Anniversary 1 Dekade Sarijan Coffe menggagas ide Traditioal latte art Competition dan Cethe Art Competition dengan Tema “Tradisionalpun Bisa Dibikin Cantik”.
Melalui sebuah wawancara singkat dengan owner Sarijan Coffe M Abdullah Faishol, S.Pd, Ide ini muncul karena anggapan bahwa tradisional itu ketinggalan zaman. Sehingga sebagai pecinta kopi tradisional ini dituntut untuk kreatif dan berinovasi tanpa meninggalkan jati diri dari kopi itu sendiri. Latte art (seni latte) merupakan penyajian kopi dengan menuangkan susu panas ke secangkir espresso yang umumnya dibuat dengan alat modern dengan harga jutaan bahkan hingga ratusan juta rupiah. Namun dalam kompetisi ini dibuat berbeda, yaitu dengan cara tradisional. Latte art dibuat dari Kopi bubuk Sehalus Debu Sarijan Coffee. Tentu hal ini memiliki kesulitan tersendiri, mengingat dengan alat modern saja Latte art harus dibuat denga kondisi dan perpaduan yang tepat, apalagi dengan cara tradisional. Namun ternyata kerumitan ini malah menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta kopi.
Tradisional Latte Art Competition ini merupakan Kompetisi Pertama Kali di Indonesia yakni kompetisi Latte Art Tampa Menggunakan Mesin. Kompetisi ini menghadirkan 4 juri dengan 53 peserta yang mayoritas merupakan barista dari beberapa warung kopi dan café terkenal Se-Indonesia. Sementara 4 juri ini adalah orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Sebut saja mereka bung Yosa Batu Prasada, seorang pakar seni Malang raya, Alumni ISI (Institut seni Indonesia) Yogyakarta, Sesepuh seniman Malang Raya, serta Yayasan Suara Seni Nusantara. Kemudian, sebagai pendamping dari bung Yosa ada mas Yudi selaku Pemerhati seni serta 2 Master Barista Sarijan Coffe, M Syihabudin Zahid dan Miftahul Karim selaku penilai dari sisi Standar Operasional Prosedurnya. Sementara untuk Cethe Art Competition yang dilaksanakan pada Minggu 13 Desember 2020 ini menghadirkan bung Yosa, mas Yudi, dan M. Machrus, seorang seniman Cethe Malang. Tentunya kompetisi ini bukan hanya sekedar kompetisi biasa.
Kompetisi memiliki sisi edukasi bahwa seni dalam perform kopi melalui keterampilan pengetahuan akan menambah nilai kopi itu sendiri. Karakter dan kreativitas penyajian merupakan sebuah edukasi untuk mengetahui bagaimana cara mendatangkan income yang berbeda melalui bahan dasar dan modal yang sama. Dengan adanya media baru seperti media sosial seperti instagram dsb. Seni dalam kopi dapat ditransformasikan dalam bentuk yang lebih kekal tanpa menambah sampah. Bahkan ampas kopi tersebut dapat digunakan untuk bahan bakar setelah melalui proses tertentu. Traditional Latte Art merupakan sebuah keindahan dalam sebuah karya, keindahan yang dapat menambah nilai guna sebuah barang. Perlu diingat dan diperhatikan bahwa seni masa depan adalah seni yang tidak meninggalkan sampah.
Bung Yosa batu prasada mengungkapkan ketertarikan beliau terhadap Traditional Latte art ini. Beliau mengungkapkan bahwa kopi merupakan jenis tanaman yang dibawa sejak zaman kolonial tahun 1600an dalam kerja paksa. Orang Indonesia menikmati kopi dengan cara membuatnya menjadi bubuk kemudian disedu dengan air panas. Latte Art tradisional sebagai keindahan dalam kopi memiliki fungsi dari sisi nasionalisme untuk mengangkat nilai hasil bumi Indonesia dan bagaimana agar kopi kita tidak kalah di negeri sendiri. Harapannya adalah, agar hotel-hotel dan cafe-cafe di Indonesia menyajikan kopi yang berbasis tradisi Asli Indonesia. Kopi sarijan adalah karakter, sementara penyajiannya merupakan service, sebagai penambah nilai (value) pada kopi.
Kopi Sarijan merupakan kopi dengan tekstur yang sangat halus yang diproses dengan cara tradisional. Ini merupakan karakter paten kopi yang harus dikreasikan dalam penyajiannya tanpa mengubah karakter kopi itu sendiri. Dengan seni penyajian yang menarik, maka penikmat kopi bukan hanya menikmati kopi namun juga menghargai seni. Latte art tradisional memang memiliki tekstur yang lebih kasar dari latte art modern pada umumnya. Namun ketika bersaing dengan latte art moderm, tekstur ini bisa menjadi kelemahan dan juga bisa menambah value dari kopi. Kemungkinan kedua ini mungkin terjadi karena tekstur merupakan salah satu unsur dari seni rupa.
Pendirian Sarijan Coffe ini didasarkan pada niat dan kepercayaan yang kuat. Ketika beliau ditanya apakah beliau yakin bahwa dengan adanya Latte Art Competition secara tradisional yang merupakan kompetisi pertama di Indonesia akan membawa nama Sarijan dalam kancah Nasional bahkan Internasional dan bersaing dengan kopi-kopi lain, beliau menjawab percaya. “Jika kita kita tidak bisa menjadi yang pertama, maka kita harus menjadi yang berbeda, kita harus tinggi tanpa menjatuhkan orang lain” ujarnya.(far)