Jiwa Nasional dalam Bingkai Imam Spiritual, Hubbul Wathon Minal Iman

23
262

[All about abah]Berperang melawan Natherland merupakan suatu hal yang lumrah bagi anak Indonesia yang lahir pada era kemerdekaan. Dimana pada era tersebut, semua anak tanpa terkecuali diharuskan memiliki mental yang kuat dan keberanian yang besar agar mampu untuk membantu pahlawan mengusir penjajah dari bumi pertiwi ini. Hal yang demikian juga berlaku pada Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S. H. beliau adalah salah satu sosok pejuang kemerdekaan di usia yang masih belia. Peran beliau tampak ketika Belanda mendaratkan diri di Indonesia pada tahun 1948.

19 Desember 1948, pangkalan udara Maguwo menjadi saksi bisu tibanya Belanda ke Indonesia dalam misi agresi militer Belanda yang kedua. Penyerangan mereka dimulai dari yogyakarta yang kemudian meluas hingga Jawa Timur. Termasuk didalamnya Gresik, Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan. Insiden bengis pun tak terelakkan pada tahun 1949 di Kabupaten Lamongan, dimana tujuh serdadu Belanda mendarat daerah Pangarengan, kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan.

Tempat berdirinya monumen “Tugu Peringatan, Mengenang Jasa Pahlawan” di Desa Gumantung, Maduran Kabupaten Lamongan menjadi titik awal penyebaran Belanda di Kabupaten Lamongan termasuk kota Babat, tempat tinggal abah Mudlor. Beliau menyaksikan sendiri kebengisan serdadu Belanda di usia beliau yang masih belum lulus Madratsah Ibtidaiyah. Kerusakan infrastruktur, mundurnya perekonomian,dan kondisi sosial masyarakat yang porak poranda membuat abah Mudlor semakin dekat dengan para anggota militer.

Pada masanya, granat merupakan senjata yang populer untuk memukul mundur musuh. Sebagaimana lazimnya zaman mempertahankan kemerdekaan, seluruh kaum laki-laki dari berbagai usia selagi dia mampu akan dimanfaatkan tenaganya untuk melakukan perjuangan. Begitu pula dengan abah Mudlor. Beliau kerap dimintai bantuan untuk membawa granat dari satu desa ke desa lainnya. Taktiknya adalah granat-granat itu dimasukkan kedalam keranjang yang ditutupdengan dedaunan ketela, terong, dan umbi-umbian lain untuk menghindari kecurigaan Belanda. Didukung dengan usia yang masih muda, alhasil beliau luput dari pengawasan Belanda dan misi membawa granat pun sukses.

Perjuangan abah Mudlor tidak hanya berhenti hingga agresi militer Belanda. Namun, hingga era reformasi. Sejak tahun 1998, ketika atmosfer politik Negeri sedang gelap tertutup wedus gembel sebagai dampak dari aktifnya gunung dominasi orda baru yang telah masuk stadium awas. Amarah masyarakat yang telah memuncak ke ubun-ubun memunculkan demonstrasi-demonstrasi yang membajiri setiap kalangan. Mulai dari intelektual kampus hingga diskusi panelis. Salah satu yang disebut sebagai stimulus pemberontakan dengan dampak berantai hingga runtuhnya Orde Baru adalah pembacaan hizib oleh entitas pesantren.

Pembacaan hizib yang dianggap magis tampak pada fenomena yang terjadi di Pesantren Luhur Malang dibawah asuhan Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S. H. bertempat di aula pesantren, sebanyak empat puluh santri angkatan pertama berkumpul membaca berbagai hizib dengan maksud menggulingkan kuasa politik orba. Tidak hanya dari sisi spiritual, santri Pesantren Luhur juga menjadi garda terdepan demonstrasi di bundaran ITN. Dengan gagahnya, mereka memimpin mahasiswa dari berbagai universitas negeri dan swasta.

Dalam sebuah konferensi Ahlul Ma’had tahun 2010, Ketua Majelis Santri periode pertama, Gus Syifa’ asal Tambak Beras mengungkapkan bahwa “Mereka percaya pada teman-teman pesantren Luhur sebab kita memakai almamater, almamater yang dipakai adalah istighotsah selama empat puluh hari secara istiqomah, mereka anggap sakti anti peluru, ya semacam dibacok gak mempan, diobong ra mekan, diguyang ra teles, dipedhot alot mungkin seperti itu” tuturnya. (far)

Dikutip dari: Solicha, lia. 2011. Mujtahid Mujaddid Mujahid.Unisla Press:Lamongan

23 KOMENTAR