Pesantren merupakan salah satu tempat penguatan budaya yang ditujukan untuk mempertahankan tradisi yang sudah lama melekat di Indonesia. Salah satu tradisi yang masih terjaga hingga saat ini yakni pembelajaran kitab kuning. Pada era kemajuan teknologi yang semakin modern ini, tidak pernah memadamkan semangat santri untuk mengkaji kitab kuning. Banyak dari kalangan generasi milenial yang tertarik dengan pengajaran kitab kuning tersebut. Tidak hanya santri mukim saja yang bisa mempelajarinya, melainkan orang dari luar pondok pesantren juga bisa mengikuti pembelajaran tersebut dengan mengikuti program yang biasa disebut sebagai ngaji kilatan. Pembelajaran kitab kuning harus terus dilestarikan oleh para generasi muda. Karena, pembelajaran kitab kuning ini telah menjadi tradisi khas di bulan Ramadhan dan telah berlangsung secara turun temurun di kalangan Pesantren.
Meskipun ngaji kitab kuning sudah menjadi kebiasaan santri sehari-hari, namun di bulan Ramadahan ini memiliki perbedaan sekaligus keistimewaan tersendiri. Hal tersebut terletak dari segi waktu, jenis kitab dan jumlah kitab yang diajarkan oleh kyai. Berdasarkan segi waktunya, ngaji kitab di bulan Ramadhan mengharuskan untuk bisa khatam dalan kurun waktu satu bulan. Dalam kurun waktu yang sedikit itu, membuat proses maknai kitab kuning menjadi lebih cepat dari biasanya. Hingga tidak sedikit para santri yang tertidur saat pembelajaran sedang berlangsung. Biasanya, kitab yang dikaji adalah kitab-kitab ringkas yang membahas perihal fiqih, tasawuf, akhlak, dan masih banyak lagi. Meskipun ringkas, tapi biasanya kitab-kitab yang dikaji merupakan karangan ulama besar seperti Imam Ghozali. Bahkan kitab-kitab yang terbilang ringkas tersebut dapat menjadi dasar pokok ulama generasi selanjutnya untuk membangun karyanya dengan cara menjabarkan kitab pokok tersebut atau dalam tradisi kitab kuning disebut dengan syarah.
Walaupun waktunya relatif sedikit, jumlah kitab kuning yang dikaji biasanya lebih dari satu dan bisa terhitung banyak tergantung program yang diadakan oleh pihak Pesantren. Pada bulan yang penuh berkah ini, biasanya para santri berbondong-bondong pergi sholat berjamaah. Setelah jamaah telah usai biasanya para santri bergegas menuju Masjid dengan membawa kitab kuning yang akan dikaji. Ngaji kitab yang biasanya berlangsung dua kali dalam sehari, namun di bulan Ramadhan pengajian tersebut dapat berlangsung hingga empat sampai lima kali dalam sehari. Perubahan waktu tersebut dilakukan agar kitab kuning yang dikaji bisa khatam sesuai dengan target yang telah ditentukan.
Kebahagiaan dan semangat tergambar jelas di wajah para santri. Pasalnya, ngaji kitab kuning di bulan Ramadhan ini menjadi kegiatan istimewa yang paling ditunggu-tunggu. Selain kitabnya yang ringkas, biasanya kitab yang dikaji memiliki keunikan tersendiri dan belum pernah dikaji sebelumnya. Hal tersebut membuat santri semakin penasaran dan ingin mempelajarinya lebih dalam lagi. Dengan adanya rasa ingin tahu yang tinggi akan dapat memperkaya khazanah keislaman di kalangan generasi muda. Karena segala hal yang diawali dengan rasa suka akan terus berlanjut dengan cara yang damai dan menenangkan. Dengan penerapan pengajaran kitab kuning di bulan Ramadhan membuat Eksistensi kitab kuning menjadi lebih terjaga. Generasi milenial yang berperan sebagai penerus peradaban harus terus dipupuk dengan hal-hal yang bersifat islami. Jika bukan mereka yang mempertahankan budaya kitab kuning ini, maka siapa lagi yang harus mempertahankannya? Oleh karena itu dengan adanya penerapan ngaji kitab kuning di bulan Ramadan dapat meningkatkan Eksistensi para santri milenial hingga saat ini.
Oleh: Sofia Yuniar
Referensi:
Rizqi, Na’imatur. 2017.Pembelajaran Kitab Kuning Dalam Kegiatan Pesantren.Skripsi.Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Syaiful, Muhamad., Hermina, Dina., Huda, Nuril. (2022). Tradisi Pembelajaran Kitab Kuning Pada Pondok Pesantren di Era Digital. Junal Penelitian dan Pemikiran Islam, vol 9 no 1, 33-43.
Amrizal. (2016). Eksistensi Tradisi Kajian Kitab Kuning Dalam Lingkup Perubahan Sosial.Jurnal Sosial Budaya, Vol. 13, No. 1, 1-16.
Penulisannya baik, tapi mungkin perlu sedikit perbaikan, salah satunya di bagian penempatan kata hubung “dengan”, seharusnya tidak diletakkan di awal kalimat.
Terima kasih atas koreksinya
Mohon maaf sebelumnya🙏bukannya “dengan” itu termasuk kata penghubung subordinatif yang peletakannya bisa di awal kalimat?